Kamis, 13 Maret 2008

Fatwa Resapan Air

SIAPA bilang Islam tak bisa menjadi solusi karena dicap ketinggalan zaman? Bahkan, alim ulama ini NU yang kerap disebut tradisional ternyata merespon dengan baik setiap perkembangan masyarakat melalui forum bahtsul masail (pembahasan masalah aktual). Seperti dalam bahtsul masail rutin yang diadakan Yayasan Assalaam di Gedung Majelis Taklim Assalaam Jln. Sasakgantung N0.16, baru-baru ini. Hadir Wakil Rais PC NU Kota Bandung, KH. M. Tajuddin Subki; Katib Syuriah PC NU Kota Bandung, KH. Asep Syarif Hidayat, Wakil Katib Syuriah, KH. Lukman Hakim; Ketua Yayasan Assalaam, KH. Habib Syarief Muhammad Al Aydarus, dan ratusan kaum Muslimin se-Bandung Raya.Masalah yang dibahas juga cukup unik yakni hukum membangun di daerah resapan air. Alim ulama yang hadir sepakat mengharamkan pembangunan di daerah resapan air karena akan membuat lingkungan makin rusak. Bahkan, alim ulama juga sepakat membangun di daerah resapan air sebagai tindakan zalim sehingga harus dihentikan.Bukan hanya Alquran, hadis, maupun kitab kuning yang menjadi maraji’ (rujukan) melainkan juga data-data terbaru dari media massa. KH. Habib Syarief Muhammad memaparkan kondisi pada tahun 2010 penduduk bumi diperkirakan mencapai 7 miliar jiwa sehingga kebutuhan terhadap tanah dan air makin tinggi. Saat ini di Indonesia kerusakan hutan mencapai 6 juta hektar per tahun atau enam lapangan sepak bola per menitnya.Indonesia memiliki indeks ketersediaan air 16.800 meter kubik per kapita per tahun dan diperkirakan ketersediaan air terus menurun hingga mencapai angka 9.200 meter kubik/tahun. “Penurunan tersebut salah satunya diakibatkan mutu lingkungan hidup yang makin rusak sehingga sumber-sumber air mengering,” katanya.Bahkan, KH. Muhammad Tajuddin Subki menambahkan fatwanya dengan menyatakan membangun di daerah resapan air bukan hanya haram melainkan juga zalim dan berdosa. “Allah telah memberikan rezeki berupa air sekaligus perintah agar manusia menjaga sumber air dengan tidak merusaknya,” katanya.Karena sangat pentingnya pemeliharaan sumber air dan wilayah resapan air, maka Nabi Muhammad menyatakan sedekah utama adalah air. Karena air dibutuhkan setiap mahluk, maka Sahabat Sa’ad bin Ubadah membangun sumur yang menjadi sumber air bagi masyarakat.Mengeksploitasi lingkungan yang bukan peruntukkan seperti membangun rumah di resapan air, menurut Kiai Tajuddin, bisa menyebabkan hilangnya kekuatan bumi untuk menyimpan air. Dampak lebih jauh terjadi kerusakan seperti banjir dan longsor. Tindakan zalim membangun di resapan air yang berarti pelakunya berdosa besar.Masalahnya, apakah pengusaha, pemerintah, dan masyarakat luas masih mendengar fatwa alim ulama? Kalau hukum positif tidak lagi ditegakkan seharusnya fatwa bisa menjadi solusi minimal perusak lingkungan takut dengan dosa dan bencana.Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Rebutan “Makanan”

DALAM banyak hadis, Nabi Muhammad dengan gamblang menggambarkan kondisi umatnya masa depan. Umumnya kalimat hadis itu adalah “suatu saat nanti umatku...” misalnya Nabi Muhammad memprediksikan umatnya akan menjadi semacam makanan yang direbut dari segala arah.Kiai muda mantan ketua Ansor Jabar, KH. Dr. Ali Anwar, memaknai hadis itu seperti kondisi umat Islam saat ini. Di seluruh dunia nasib Muslimin kurang baik, diperebutkan dan dihantam dari segala arah. Demikian pula di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir umat Islam hanya menjadi rebutan partai politik. Setelah umat bisa dirayu dan menyalurkan suaranya, maka umat ditinggalkan laksana mendorong mobil mogok.Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persis, KH. Shiddiq Amien, di sela-sela pengajian bulanan di rumah H. Andi Sugandi, baru-baru ini, juga menyiratkan kekhawatiran sama. Dengan adanya sistem pemilihan langsung seperti dalam Pilkada dan pemilihan presiden membuat partai politik berrebut pengaruh dari ormas-ormas Islam. Persis sendiri sudah didatangi banyak partai dengan dua partai yang serius yang “meminangnya” yakni PPP dan PBB. Saat ini ormas-ormas Islam yang memiliki yang berakar ke massa seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Mathlaul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), dan ormas lainnya menjadi rebutan partai politik.Kasus menarik dalam tubuh Persis. Diakui atau tidak, Persis memiliki dilema dalam mengarahkan suara jemaahnya baik dibebaskan sesuai dengan pilihan jemaah atau diarahkan oleh PP Persis. Ada plus dan minus apabila jemaah Persis bebas memilih partai maupun PP Persis mengarahkan ke salah satu partai seperti terjadi dalam beberapa kali Pemilu.Dalam pemerintahan Orde Baru ketika hanya ada tiga partai, maka PP Persis mengarahkan suara umatnya ke PPP. Model politik Persis ini tidak bisa ditemui di partai-partai lain karena umumnya ormas Islam membidani dulu lahirnya partai baru mengarahkan suaranya.Kemungkinan besar PP Persis akan tetap mengarahkan suara jemaah Persis ke salah satu partai seperti yang terjadi pada Pemilu dan Pilpres tahun 2004 lalu. Apakah PP Persis tetap membidik PBB yang kini menjadi Partai Bintang Bulan atau kembali ke “rumah lama”, PPP? Atau, ke partai lain seperti PKS?Di tengah-tengah kondisi bangsa yang berkiblat ke politik seharusnya ormas-ormas Islam tidak terseret ke dalam lingkaran politik. Umat Islam memang tidak boleh buta politik, tapi tidak boleh juga berpolitik mambabi buta. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Nasib Tanah Wakaf

KETIKA ceramah, Ketua Umum PP Persis, KH. Shiddieq Amin, sering mengungkap keterbatasan dana ormas-ormas Islam dengan sindiran “dal pees du alias duit”. Ya, meski “tidak ada fulus tidak mamfus”, tapi ketiadaan fulus membuat gerak ormas Islam terhambat.Seperti dalam sertifikasi tanah wakaf. Dari 66.817 lokasi tanah wakaf di Jawa Barat baru 52.088 lokasi yang sudah bersertifikat dan 2.282 lokasi m asih proses sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sisanya ada 12.447 lokasi yang belum bersertifikat. Kondisi sama juga terjadi di lingkungan Persis karena baru 35 persen yang sudah disertifikasi dari 2.000 lokasi tanah wakaf.Di mata Kasi Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kanwil Depag Jabar, Drs. H. Cece Hidayat, kesulitan sertifikasi tanah wakaf akibat minimnya alokasi dana bantuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Di lain pihak, ormas-ormas Islam yang mendapat amanah tanah wakaf juga tidak ada “fulusnya”.“Fulus” cukup berperan penting dalam sertifikasi tanah wakaf karena umumnya warga yang mewakafkan tanah kepada ormas Islam, masjid, atau yayasan pendidikan tidak disertai dengan sertifikat. Penerima wakaf harus membuat sertifikat sendiri, padahal mereka rata-rata tidak memiliki dana. Karena tidak disertifikat akhirnya tanah-tanah wakaf diserobot dan berpindah pemilik.Pelajaran berharga dari kasus tanah wakaf Persis seluas 100 hektar di Lembang dan sekitarnya. Sampai kini tidak jelas nasibnya akibat berpindah tangan untuk perumahan atau fungsi lainnya, tapi Persis tidak bisa menggugatnya akibat ketiadaan bukti tertulis berupa sertifikat.Nasib NU, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Mathlaul Anwar, dan ormas-ormas Islam lainnya setali tiga uang dengan Persis. Tanah wakaf mereka telantar, tanpa pengamanan berupa sertifikat sehingga rawan diambil alih bahkan oleh keluarga yang mewakafkan. Ayahnya berniat wakaf, tapi anaknya mengambil kembali lalu ormas gigit jari.Padahal, potensi wakaf amat besar apabila dikembangkan dan diberdayakan. Bisa jadi NU memiliki pusat pertokoan, Persis dengan pom bensin, atau PUI dengan rumah sakit modern dengan memanfaatkan tanah-tanah wakaf.Tentu setelah mendapat tanah wakaf dan disertifikat, tugas selanjutnya menggelorakan wakaf tunai (uang). Dari wakaf tunai akhirnya badan-badan usaha milik ormas-ormas Islam bermunculan sebagai “pusat dana umat” sehingga ormas Islam tidak selamanya tergantung “infak” pemerintah.Kalau melihat kinerja Rumah Zakat Indonesia (RZI) atau Dompet Duafa (DD) Bandung seharusnya ormas-ormas Islam kebakaran jenggot. RZI dengan karyawan ratusan orang dan DD Bandung dengan puluhan staf mampu membuat rumah bersalin, poliklinik, dan lain-lain. Sedangkan ormas-ormas Islam yang katanya memiliki massa jutaan bahkan puluhan juta ternyata tak mampu berbuat banyak.Bukan waktunya lagi ormas-ormas Islam sebatas mengklaim jumlah umat. Toh, ormas-ormas Islam belum pernah melakukan sensus umatnya sehingga data yang diberikan juga asal-asalan. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Pengarusutamaan Jender

DALAM sebuah pembicaraan santai, penulis melontarkan pertanyaan kepada seorang teman dari Tegal, Jawa Tengah, karena sama-sama warteg (warga Tegal). Ada yang menyebut Ortega (orang Tegal asli) dan di Soreang dikenal Abrag (anak Bandung rantauan dari Tegal). “Sakiye lagi ramai-ramaine masalah jender. Dingin arane kesetaraan gender, tapi saiki pengarusutamaan jender. Arep ana apa maning ya? (sekarang sedang ramai-ramainya masalah jender. Dulu disebut kesetaraan gender, tapi sekarang pengarusutamaan jender. Mau ada apa lagi ya, red),” kata penulis.Tiba-tiba ia langsung nyeletuk. “Mas, gender iku sing ning gamelan. Memang rika bisa nabuh gamelan?” (Mas, gender itu yang ada di gamelan. Memang kamu bisa memainkan gamelan?, red).Kebingungan yang sama dialami penulis ketika beberapa kali mengikuti seminar perempuan. Rata-rata seminar mereka berjudul “pengarusutamaan jender”. Bahasa apa lagi pengarusutamaan? Awalnya hanya menulis berita apa adanya disertai dengan kebingungan dan rasa penasaran. Setelah bertanya ke beberapa orang ternyata pengarusutamaan merupakan padanan kata dari “mainstream”. Oh gitu toh! Terkesan aneh dan nyeleneh.Nah, soal jender ini suara-suara wanita makin nyaring apalagi setelah ada Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI). Memang dari data Indonesia menduduki peringkat 89 dalam keterwakilan perempuan di legislatif, padahal Afganistan dan Vietnam di urutan 24 dan Singapura ke-66.Bahkan, dengan negara Timur Tengah yang sering diidentikkan dengan “pengharaman” wanita berpolitik ternyata peringkat Indonesia masih di bawah. Namun, peringkat Indonesia lebih baik daripada Malaysia di nomor 103, Jepang 104, dan India 108 Rendahnya keterwakilan perempuan salah satunya disebabkan tidak adanya sanksi bagi partai yang melanggar aturan kuota 30 persen perempuan di legislatif. Realitas politik Indonesia menunjukkan 53 persen pemilih dari kalangan perempuan, namun keterwakilan perempuan di DPR baru 10,7 persen. Sedangkan perempuan di DPRD provinsi 9 persen dan DPRD kabupaten/kota 5 persen, namun di DPD lebih baik mencapai 21 persen. Tapi, sekali lagi pertanyaannnya apakah dengan “bejibunnya” wanita di parlemen akan menaikkan kesejahteraan wanita dan masyarakat pada umumnya?Partai politik juga sering “menggembirakan” perempuan dengan menempatkan banyak calon anggota legislatif, namun di nomor sepatu atau nomor buncit. Namun, jangan sampai kesejahteraan wanita “di-nomor sepatu-kan” atau “di-nomorbuncit-kan” karena rata-rata wakil perempuan di DPR. DPRD maupun DPD lebih banyak “diam adalah emas”. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
PAUD dan PAUL

KETIKA menjadi “santri cilik” di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Nurul Huda, Desa Sidapurna, Kec. Dukuh Turi, Kab. Tegal, penulis terkesan dengan pengajaran ala Alm. Kiai Abdul Halim. Ia berperawakan tinggi besar dan suka bergurau di kelas dengan membawa mata pelajaran “aneh”.Misalnya, saat kelas III MDA, penulis yang masih kelas V SD diajar masalah haid, mengenal macam-macam darah haid, darah penyakit, cara mandi besar, dll dengan membahas kitab tipis berbahasa Jawa. Mungkin saat ini disebut pendidikan seks atau reproduksi sehat (?)Selain itu, penulis juga terkesan dengan perkataan Alm. Kiai Abdul Halim yakni “harus hati-hati memperlakukan orang yang sudah berusia lanjut karena sikapnya kembali seperti anak-anak”. Seperti suka rewel, minta dilayani, atau cepat tersinggung.Pada Rabu ini (13/6) merupakan hari lanjut usia (lansia) yang diperingati dengan perayaan khusus di Gedung Sate diawali dengan jalan kaki 1 Km dari sekretariat Lembaga Lansia Indonesia (LLI) Jabar di Jln. Teratai menuju Gedung Sate. LLI Jabar juga menyerahkan penghargaan kepada lima lansia berusia di atas 80 tahun yang masih aktif dan mandiri.Di mata Sekretaris LLI Jabar dan direktur RS Al Ihsan Baleendah, Prof. Dr. H. Iwin Sumarman, Sp.THT, KAI, lansia dibagi beberapa kelompok yakni pra lansia di atas 50 tahun dan lansia apabila usianya di atas 60 tahun. “Kalau lansia sudah pasti pernah merasakan waktu muda, tapi orang muda belum tentu bisa sampai ke lansia,” katanya tersenyum. Salah satu kelemahan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah adalah kurang memperhatikan “pembangunan” lansia. Minim bahkan tidak ada program pemerintah untuk menjadikan lansia yang sehat, mandiri, dan tetap aktif di masyarakat. Padahal, jumlah lansia di Jawa Barat di atas 5 juta orang dan akan melebihi jumlah balita dalam beberapa tahun ke depan. Kalau khusus anak ada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tapi kepada lansia tidak ada Pendidikan “Anak” Usia Lanjut (PAUL)? Cakupan PAUD bisa formal yakni TK/RA dan non formal seperti Posyandu dan pembinaan anak-anak di masjid-masjid. Usia layanan PAUD juga dari sejak anak dilahirkan sampai usia enam tahun karena dianggap sebagai masa keemasan (golden age).Kalau pun ada PAUL sebatas pendirian panti jompo/panti wreda dengan dana dari Depsos dengan jaminan lahir batin 100 persen sampai lansia itu meninggal dunia. Tapi, bagi LLI Jabar lansia di panti jompo bukan termasuk lansia yang mandiri, produktif, dan aktif di masyarakatnya. Ketiadaan PAUL apakah dikarenakan “anak-anak” lanjut usia sudah kehilangan masa keemasannya? Bahkan, lebih tragis apakah habis manis sepah dibuang apalagi lansia kerap merepotkan sanak keluarganya? Padahal, setiap diri pasti akan menjadi lansia tidak mengenal jabatan, harta, maupun pendidikannya. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
BAZ Melibas

SUDAH enam bulan ini muncul semangat, gairah baru di kepengurusan Badan Amil Zakat (BAZ) Kab. Bandung. Bukan sekadar adanya Perda Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) , Peraturan bupati (Perbup), atau komando membayar zakat yang langsung dari orang nomor satu di Kab. Bandung melainkan semangat menyelamatkan kekayaan umat.Ya, zakat intinya bukan hanya distribusi kekayaan atau membantu masyarakat kurang mampu melainkan untuk membersihkan harta dan menyelamatkannya. Maka, tak heran apabila perintah zakat berbunyi “Ambillah dari sebagian harta mereka untuk membersihkan dan mensucikannya”.Dengan kenyataan seperti itu, maka wajar apabila dana ZIS yang terkumpul di BAZ Kab. Bandung sudah mencapai sekitar Rp 400 juta. Sebagian besar adalah ZIS dari PNS Kab. Bandung mulai dari bupati, wabup, kepala dinas/kantor/badan, maupun para camat dan wakil rakyat.Demikian pula dengan distribusinya yang sudah mulai dilakukan dari membantu korban bencana alam longsor di Cipatat, banjir Baleendah dan Dayeuhkolot, maupun menyantuni masyarakat lainnya. Rencananya, dalam waktu dekat ini juga disalurkan untuk beasiswa guru-guru madrasah ibtidaiyah (MI) honorer sekolah yang kesejahteraannya masih memprihatinkan.Untuk menuju BAZ yang amanah dan profesional, BAZ Kab. Bandung sudah berupaya mengangkat staf khusus di sekretariatnya, Wisma Haji Soreang. Pengangkatan pengurus juga dari seleksi ketat secara terbuka termasuk pengurus BAZ-BAZ kecamatan.Dalam hal pengelolaan ZIS ini, BAZ Kab. Bandung jangan malu belajar kepada Lembaga Amil Zakat (LAZ) “swasta” seperti Rumah Zakat Indonesia (RZI) Yayasan Dana Sosial al Falah (YDSF), Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), maupun Dompet Duafa Bandung (DDB). Mereka maju karena bersikap amanah, profesional, dan terbuka dengan tidak segan-segan mengungkap kiprahnya.Bahkan, penggunaan dana LAZ kalau mau jujur lebih bersikap “pamer”, tapi langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Misalnya, ambulans gratis, rumah bersalin gratis, beasiswa, pemberdayaan ekonomi pedagang kecil, maupun pengobatan massal dan pembagian sembako. “Riya” dari LAZ-LAZ bermakna positif untuk menggali ZIS sekaligus LPJ (laporan pertanggungjawaban) dana umat.Perbaikan citra BAZ harus segera dilakukan yang salah satunya dengan cara “pamer” seperti kiprah LAZ-LAZ. Bisa saja BAZ Kab. Bandung bekerja sama dengan BAZ kecamatan membuat ambulans gratis di 11 wilayah (eks pembantu bupati), pengobatan gratis dengan Puskesmas, maupun membuat rumah bersalin gratis karena tingkat kematian ibu dan anak di Kab. Bandung masih tinggi.Tentu sikap birokratis yang selama ini masih menghambat kinerja BAZ perlu disisihkan. Umat menunggu kiprah BAZ dan tidak mau tahu alasan internal BAZ seperti belum ada persetujuan atau menunggu pengesahan program. Toh, program selama setahun bisa dirancang termasuk program penanganan darurat (bencana alam).Dengan “pamer” positif itu, maka pembayar ZIS bisa merasakan dananya termanfaatkan dengan baik. Lebih dari itu, BAZ Kab. Bandung bisa mulai melibas kemiskinan dan ketertinggalan umat. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***
Fatwa Trafficking

TAK jarang muncul anggapan kalau ajaran Islam tak bisa menjawab tantangan zaman, terlalu kaku sehingga tidak bisa menjadi solusi. Jawaban terhadap “gugatan” itu seharusnya bisa dimainkan oleh ormas-ormas Islam apalagi memiliki lembaga khusus.Seperti Nahdlatul Ulama (NU) dengan “bahtsul masail” (pembahasan masalah), Persis dengan “Muhabatsah” (pembahasan juga), Muhammadiyah oleh Majelis Tarjih, dan lain-lain. Sayangnya lembaga-lembaga itu jarang digunakan sehingga fatwa yang keluar lebih banyak dari individu kiai/ustaz melalui pengajian atau ceramah sehingga kurang mendalam dan tak mewakili suara ormas.Salah satu “bahtsul masail” yang cukup menarik saat Pengurus Cabang (PC) NU Kota Bandung mengeluarkan fatwa pengharaman praktik penjualan anak dan wanita (trafficking) dan adopsi sebagai anak kandung. Tapi, saat membahas hukum Alquran bergambar terjadi debat panjang antarkiai sehingga akhirnya ditunda dan diserahkan ke PW NU Jabar.Pimpinan sidang, KH. Lukman Hakim yang juga wakil sekretaris Syuriah PC NU Kota Bandung, mengakui Alquran bergambar sudah banyak beredar di masyarakat dengan menuliskan ayat-ayat, peta, kartun ilustrasi, maupun cerita. Alim ulama mengkhawatirkan dengan adanya gambar maupun ilustrasi akan mengurangi kesakralan Alquran karena bisa saja kertasnya dipakai untuk pembungkus atau diletakkan di mana saja.Nah, hukum trafficking sebanyak 21 ulama yang hadir sepakat untuk mengharamkannya bahkan dengan alasan darurat sekali pun. Orangtua, masyarakat, bahkan korban trafficking tidak bisa menggunakan alasan darurat seperti krisis ekonomi untuk melakukan trafficking. Menurut alim ulama trafficking belum masuk masalah darurat yang bisa diperbolehkan hukum syara.Bahkan, PC NU Kota Bandung memasukkan trafficking sebagai perbudakan gaya baru, padahal ajaran Islam untuk membebaskan perbudakan. Tentu semua ormas berkepentingan dengan masalah trafficking apalagi NU yang basisnya di pedesaan yang sering menjadi korban trafficking.Sedangkan hukum adopsi, alim ulama sepakat mengharamkan praktik adopsi yang mengubah status anak angkat menjadi anak kandung. Dalam praktik sehari-hari ternyata Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mengeluarkan akte kelahiran atau surat lainnya yang menyatakan anak angkat sebagai anak kandung. Misalnya, Ahmad bin Hambali, padahal Ahmad adalah anak angkat bukan anak kandung Pak Hambali.Dampaknya anak angkat nantinya mendapatkan bagian dari warisan dan orangtua angkat menjadi wali saat anak angkatnya menikah. Padahal, saat Nabi Muhammad masih hidup pernah “dimarahi” oleh Allah akibat menyebutkan seorang anak angkat dengan nama bin Muhammad.Alim ulama membolehkan anak angkat dijadikan anak kandung, tapi anak itu masih kecil dan ditemukan di jalan tanpa mengetahui nama kedua orangtuanya. Namun, ketika nikah maupun membagi warisan statusnya tetap sebagai anak angkat bukan anak kandung. Wallahu-a’lam.(Sarnapi)***